Senin, 30 Maret 2015

Why You Gotta Be So Rude?

Sebenernya blog saya hari ini bukan tentang cowok yang hubungannya enggak di setujuin sama bapak cewenya, kayak lagunya Magic! yang lagi ngehits ini, tapi kebetulan liriknya pas banget sama issue social yang cukup ganggu saya pribadi.
Saya pengen share sama pengalaman saya yang sering banget bikin saya kayak sedikit terganggu, atau mungkin bukan sedikit.. tapi banyak.

Oke, ketika semua teknologi maju, otomatis manusia mengikuti semua perkembangannya. Ada yang enggak, tapi bisa dipastikan di kota Batam ini hampir rata-rata mengikuti perkembangan teknologi.
Saya pengen banget share hubungan tentang teknologi yang mencakup tentang gadget, media social dan manner penggunanya.

Hampir semua orang punya gadget. Anak kecil pegangannya udah iPad, Blackberry, Tab dan banyak gadget-gadget yang selalu ada di hadapan mereka yang membuat mereka belajar selfish dari dini. Tapi saya enggak membahas tentang anak kecil, saya membahas tentang orang-orang yang sudah aktif menggunakan gadget untuk kebutuhan sehari-harinya. Intinya, semua orang enggak bisa jauh dari gadgetnya.
Karena gadget, orang-orang gampang mengakses media social yang lagi happening sekarang kayak twitter, instagram, path, facebook dan media-media social lainnya.

Terus masalah yang bikin lo keganggu itu apa sih, Olla?

Nah.. yang bikin saya keganggu adalah manner pengguna media social ini. Di twitter saya follow-followan sama beberapa temen saya. Sering banget saya melihat di timeline twitter beberapa temen saya yang kayaknya tiap hari ngeluh dan bermasalah terus hingga tweetnya enggak jarang marah-marah dan menggunakan kata-kata kasar, makian. Even itu cewek atau cowok. Dan ini juga saya temui di Facebook, Instagram atau Path sekalipun.

Pertanyaannya adalah What’s wrong with everybody who gotta be so rude on social networkin’?
Saya tau tiap manusia memang bebas berbicara. We know that we have to speak up, then we speak up.. tapi jangan asal. Karena di media social itu bukan cuman kamu aja yang bisa baca tulisan kamu, banyak orang yang baca dan mungkin mereka sangat terganggu sama kalimat-kalimat kasar atau keluhan kamu.

Ketika kamu mengalami hari buruk dan kamu nulis kasar di media social yang kamu punya, apa masalah kamu akan selesai? Malahan kebodohan kamu akan terlihat dengan apa yang kamu tulis. Orang yang lebih maju pemikirannya malah akan minus nilai kamu. (No offend, please.)
Saya bukan enggak pernah ngomong kasar atau curhat di media social milik saya, saya pernah banget. Tapi lama-lama saya sadar dengan banyak membaca artikel dan opini-opini dari berbagai sumber tentang manner penggunaan media social bahwa itu sama saja memperlihatkan kebodohan yang ada di dalam diri. Jadi sekarang tiap mau ngeluh atau marah saya gunain kata-kata yang lebih keren dan kreatif lalu saya analogiin dengan hal lain. Mungkin ini keuntungan orang yang suka nulis. Jadi enggak ketauan. Tapi saya berharap saya dan kamu jadi lebih pintar dalam menjalankan media social.

At least, marah, ngeluh itu wajar.. boleh sekali-sekali ngeluh di media social, tapi jangan terlalu sering. Karena menurut saya itu bisa menyerap energi positif orang yang membacanya. Jadilah pengguna media social yang cerdas.
Saya bukan merasa saya sudah benar, tapi dengan menulis ini, saya juga akan lebih belajar untuk selalu mengingat tulisan saya ini agar saya tidak ikut-ikutan dan semoga buat kamu yang baca juga ikut menularkan energy positif ke temen-temen yang lain. Be a smart social networkin user.
Cheers!
:D

Rabu, 18 Maret 2015

[Cerpen] -SORE-

“Kadang kita suka lupa sama apa yang udah kita dapetin. Terlalu jauh melihat ke atas, tanpa tau kalau di bawah ada banyak kebahagiaan yang seharusnya kita sadari itu..” ujar Gian sambil membenarkan tali sepatunya.
“Kenapa, ya,  kamu selalu aja bisa bikin aku tenang? Thank’s, ya, Yan.” Aluna tersenyum simpul menatap Gian yang duduk di hadapannya bersandar di tiang ring basket yang sudah tidak terpakai lagi.
“Karena aku ngerti gimana caranya bersyukur, Al,” sambung Gian.
Aluna memanyunkan bibirnya menatap Gian. Mereka berdua kemudian beranjak dari lapangan basket tempat favorit mereka. Lapangan itu terletak di dataran yang cukup tinggi sehingga pemandangan kota tampak jelas terlihat. Mereka berdua sering menghabiskan waktu di situ ketika sore hingga malam menjelang.
Aluna dan Gian adalah sepasang kekasih. Mereka sudah berpacaran hampir dua tahun dan masing-masing masih kuliah di universitas yang berbeda. Aluna sedang uring-uringan karena masalah kedua orang tuanya yang kemungkinan besar akan bercerai. Gian adalah cowok yang sangat sabar dan pengertian terhadap semua yang ada pada Aluna. Ia selalu mendengarkan keluh kesah Aluna dan menemaninya hingga Aluna merasa lebih baik.
Sekali lagi, sore ini langit yang berwarna orange menemani langkah mereka meninggalkan lapangan basket itu.
***

Langkah kaki Gian tampak tergesa-gesa setelah memarkirkan motornya di pinggir lapangan basket tempat biasa. Ia menghampiri Aluna yang sedang tiduran di bawah tiang basket sambil memainkan gadget-nya. Ia menggunakan tas ransel hitam miliknya sebagai bantalan kepalanya. Aluna ingin Gian menemaninya
“Maaf, ya, Al, aku rada telat, nih.” Suara Gian terdengar tersengal-sengal. “Kamu inget gak? Aku pernah ngirimin design aku untuk lomba design cover yang aku ikutin di kampus?” Tanya Gian semangat setelah berada di samping Aluna tanpa memberikan kesempatan pada dirinya sendiri untuk menormalkan nafasnya.
Aluna kemudian bangun dan duduk di samping Gian. “Iya? Terus?” Aluna merespon sekenanya.
Gian yang masih tampak sumringah kemudian merogoh sesuatu dari dalam tasnya. “Aku dapet juara satunya, Al. Aku menang!” pekik Gian sambil memperlihatkan piagam penghargaan yang ia dapatkan.
Aluna yang wajahnya terlihat sedikit berantakan mengamati piagam yang dipegang oleh Gian. “Selamet, ya, Yan. Aku ikut seneng..” Aluna tersenyum tipis seraya jemarinya mengusap pipi Gian sebentar.
Raut bahagia di wajah Gian perlahan memudar ketika melihat respon dari Aluna.
“Makasih, ya, Al.” tutur Gian. “Kamu kenapa?”
“Tadi aku denger papa sama mama aku berantem lagi, Yan. Aku capek denger mereka ribut terus. Kenapa, sih, enggak ada hal yang biarin aku tenang dan bahagia sebentar?! Kayaknya ada aja yang bikin aku  muak!” racau Aluna yang tampak dari nada suaranya begitu kesal dengan keadaan yang menimpanya.
Gian kemudian seperti hari-hari sebelumnya, selalu mendengarkan apa yang Aluna sedang rasakan, memberikan masukan dan menemaninya hingga ia merasa lebih tenang.
Dan lagi, di sore dan tempat yang sama seperti biasanya, Gian menemani Aluna.

***

Dua bulan berlalu sejak kejadian di lapangan basket  dimana Aluna berkeluh kesah tentang masalah keluarganya yang kini sudah terselesaikan dengan cara damai. Kedua orang tua Aluna tidak jadi bercerai. Selama itu pula Gian selalu ada dan menemani Aluna.
Sore ini, Gian sedang bersandar di tiang basket sambil menunggu Aluna datang. Gian tampak sedang memutar-mutar handphone-nya. Sesekali ia mendongak ke atas langit dan memperhatikan awan yang berarak pelan. Tak lama kemudian langkah riang kaki Aluna mendekati Gian.
“Kamu tumben cepet kesininya? Kamu udah makan?” sapa Aluna setelah duduk di samping Gian seperti biasanya.
“Udah, kamu?” jawab Gian sambil melihat Aluna hendak mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya..
Aluna menggeleng pelan. “Belum. Si mama masak ikan. Padahal mama tau aku enggak suka ikan,” gerutu Aluna. “Jadi aku beli sandwich aja tadi waktu mau kesini. Nih, buat kamu satu.” Aluna menyodorkan sandwich isi daging sapi dilapisi keju itu kepada Gian.
Pandangan Gian tidak beranjak dari wajah Aluna saat menerima sandwich dari tangan kekasihnya itu. Aluna yang menyadari pandangan Gian kemudian tersenyum tidak mengerti.
“Kamu kenapa, sih?” Tanya Aluna sedikit malu-malu.
Gian membenarkan duduknya dan menatap Aluna dengan serius. “Al, aku sayang banget sama kamu. Kamu tau itu, kan?”
Aluna menggigit sandwich-nya sambil menatap Gian. “Hm? Iya, tau. Aku, kan, juga sayang banget sama kamu.”
“Kamu bahagia sama aku?” lanjut Gian.
Pandangan Aluna semakin tidak mengerti ke arah Gian. “Iya, aku bahagia. Kamu kenapa, sih, kok, aneh gini?”
“Tapi aku enggak pernah lihat kamu bahagia kalau sama aku..” kalimat Gian terdengar mengambang di udara.
Aluna menghentikan kunyahan di mulutnya. “Maksudnya kamu apa, ya?”
“Dua tahun aku sama kamu, Al. Aku selalu temenin kamu, dengerin cerita kamu, keluhan kamu. Saat itu juga aku ada untuk tenangin kamu..” jawab Gian. Ia mengambil nafas perlahan kemudian melanjutkan.
“Hampir tiap waktu kita ketemu pasti ada aja cerita yang bikin kamu kesel, ngeluh. Tentang kuliah kamu, temen-temen kamu, juga keluarga kamu.. dan aku selalu dengerin kamu, tenangin kamu. Aku selalu ngertiin kamu, Al.” lanjut Gian.
“Kamu enggak tulus ngelakuin itu semua? Iya, Gian?” Nada suara Aluna tampak tidak percaya dengan apa yang dikatakan Gian barusan.
“Al..” suara lirih Gian memanggil Aluna bersamaan dengan awan yang berarak menemani mereka berdua di sore ini.
“Aku pacar kamu. Kenapa hampir tiap ketemuan kamu selalu ngeluh dan ada aja yang bikin kamu marah? Kamu enggak pernah nanya apa aja yang terjadi sama aku? Aku sedih, aku seneng.. kamu enggak pernah  tau kapan aku ngalamin itu semua, kan?”
“Kok, kamu ngomong gitu, sih, Yan!?” suara Aluna terdengar meninggi.
“Aku pikir aku udah sabar, Al, ngadepin kamu dan semua tentang diri kamu. Lalu aku kapan kamu dengerinnya? Ketika aku seneng dapet juara design juga aku musti ngalah untuk dengerin apa yang kamu rasain..”
“Tapi, kan, kamu tau waktu itu orang tua aku lagi ada masalah, Yan..” potong Aluna.
“Aku ngerti, Al. Tapi kenapa, sih, kamu juga enggak pernah bersyukur sama apa yang ada disekitar kamu? Kamu cuman lihat keburukan yang ada di sekeliling kamu. Hal yang bikin kamu bahagia enggak pernah kamu lihat. Aku, Al..” ujar Gian tenang.
“Terus kamu maunya apa sekarang, Yan? Kamu bilang kamu sabar ngadepin aku.” Tanya Aluna pelan.
“Aku sabar, Al. Kamu enggak lihat gimana sabarnya aku ke kamu selama ini? Aku rela nyimpen sendiri perasaan sedih atau senengnya aku. Karena aku udah sibuk dengerin kamu, Al. Kamu pernah tau itu? Enggak, Al. Kamu egois!”
“Dan sekarang kenapa kamu enggak bisa sabar lagi, Yan?”
“Bukan enggak bisa, Al. Tapi udah cukup buat aku. Aku enggak mau kamu terus-terusan biarin diri kamu jadi orang yang enggak pernah tumbuh dewasa dan menghargai hal yang udah kamu punya. Kamu selalu ngeluh dan ngeluh..”
Aluna tak bergeming mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Gian. Kemudian Gian melanjutkan kalimatnya kembali sambil terus menatap Aluna.
“Aku tulus, Al, sama kamu. Semua hal yang aku lakuin ke kamu aku lakuin dengan tulus. Tapi aku enggak mau biarin orang yang aku sayang gak pernah coba untuk jadi orang yang lebih bisa menghargai orang lain..” Gian mengambil nafas perlahan.
“Lebih baik aku pergi dari hidup kamu, Al.”
“Yan.. aku tau aku emang egois. Aku sadar aku salah banget ke kamu. Kamu udah baik banget sama aku selama dua tahun ini.. aku enggak mau jauh dari kamu, apa kamu bakal tetep tinggal kalau aku bilang aku bakal berubah, Yan?” Tanya Aluna. Tampak air mata menggenang di pelupuk matanya.
Gian tak langsung menjawab pertanyaan dari Aluna. Beberapa detik hanya suara angin semilir yang terdengar di antara mereka berdua.
“Aku enggak bisa, Al..” pungkas Gian.
Seuntai air mata tampak jatuh dari mata Aluna. Ia tidak tau lagi kalimat apa yang hendak ia utarakan untuk membuat Gian tetap bersamanya. Beberapa saat suasana kembali hening.
Aluna tampak menghela nafas panjang kemudian mengusap air matanya.
“Maafin aku, ya, Yan? Kamu enggak apa-apa pergi dari kehidupan aku sekarang. Tapi aku bakalan buktiin aku bisa berubah supaya kamu bisa kembali sama aku..” tutur Aluna. “Dan kamu juga musti tau, aku emang egois, Yan, tapi aku bener-bener bahagia banget pernah punya kamu.. Makasih ya, Yan.”
Gian menatap Aluna kembali. Wajahnya yang selalu terlihat tenang tampak sedikit muram setelah mendengar Aluna berbicara. Kemudian ia meraih  tas di sampingnya.
“Kamu baik-baik, ya, Al..” tukas Gian sambil beranjak berdiri untuk pergi dari lapangan meninggalkan Aluna.
Aluna memperhatikan Gian yang berjalan membelakanginya.
“Haloo, Gian!” teriak Aluna dari belakang.
Gian menghentikan langkahnya. Itu adalah kalimat pertama yang di ucapakan oleh Aluna ketika mereka baru pertama berkenalan.
Gian tersenyum. “Haloo, Aluna!”
Gian kemudian melanjutkan langkahnya pergi meinggalkan Aluna yang juga berdiri hendak beranjak  dari lapangan itu.
Dan sekali lagi, di sore yang sama namun arah langkah yang berbeda, Gian semakin menjauh meninggalkan Aluna yang berjalan gontai meninggalkan lapangan basket itu. Tempat dimana Gian selalu membuatnya nyaman, tenang. Tapi kini Aluna harus merelakan kebahagiaan yang tidak pernah dia lihat dan hargai yang berada tepat di depan matanya, yaitu Gian.
Kini Aluna sadar, kadang untuk membuat orang agar lebih bisa bersyukur dan menghargai orang lain adalah dengan cara kehilangan orang yang ternyata sangat begitu berharga setelah dia hilang.
***End***