“Kadang kita suka lupa sama apa
yang udah kita dapetin. Terlalu jauh melihat ke atas, tanpa tau kalau di bawah
ada banyak kebahagiaan yang seharusnya kita sadari itu..” ujar Gian sambil
membenarkan tali sepatunya.
“Kenapa, ya, kamu selalu aja bisa bikin aku tenang? Thank’s, ya, Yan.” Aluna tersenyum
simpul menatap Gian yang duduk di hadapannya bersandar di tiang ring basket
yang sudah tidak terpakai lagi.
“Karena aku ngerti gimana caranya
bersyukur, Al,” sambung Gian.
Aluna memanyunkan bibirnya menatap
Gian. Mereka berdua kemudian beranjak dari lapangan basket tempat favorit
mereka. Lapangan itu terletak di dataran yang cukup tinggi sehingga pemandangan
kota tampak jelas terlihat. Mereka berdua sering menghabiskan waktu di situ
ketika sore hingga malam menjelang.
Aluna dan Gian adalah sepasang
kekasih. Mereka sudah berpacaran hampir dua tahun dan masing-masing masih
kuliah di universitas yang berbeda. Aluna sedang uring-uringan karena masalah
kedua orang tuanya yang kemungkinan besar akan bercerai. Gian adalah cowok yang
sangat sabar dan pengertian terhadap semua yang ada pada Aluna. Ia selalu
mendengarkan keluh kesah Aluna dan menemaninya hingga Aluna merasa lebih baik.
Sekali lagi, sore ini langit yang
berwarna orange menemani langkah mereka meninggalkan lapangan basket itu.
***
Langkah kaki Gian tampak
tergesa-gesa setelah memarkirkan motornya di pinggir lapangan basket tempat
biasa. Ia menghampiri Aluna yang sedang tiduran di bawah tiang basket sambil
memainkan gadget-nya. Ia menggunakan
tas ransel hitam miliknya sebagai bantalan kepalanya. Aluna ingin Gian
menemaninya
“Maaf, ya, Al, aku rada telat,
nih.” Suara Gian terdengar tersengal-sengal. “Kamu inget gak? Aku pernah
ngirimin design aku untuk lomba design
cover yang aku ikutin di kampus?” Tanya Gian semangat setelah berada di
samping Aluna tanpa memberikan kesempatan pada dirinya sendiri untuk
menormalkan nafasnya.
Aluna kemudian bangun dan duduk
di samping Gian. “Iya? Terus?” Aluna merespon sekenanya.
Gian yang masih tampak sumringah
kemudian merogoh sesuatu dari dalam tasnya. “Aku dapet juara satunya, Al. Aku
menang!” pekik Gian sambil memperlihatkan piagam penghargaan yang ia dapatkan.
Aluna yang wajahnya terlihat
sedikit berantakan mengamati piagam yang dipegang oleh Gian. “Selamet, ya, Yan.
Aku ikut seneng..” Aluna tersenyum tipis seraya jemarinya mengusap pipi Gian
sebentar.
Raut bahagia di wajah Gian
perlahan memudar ketika melihat respon dari Aluna.
“Makasih, ya, Al.” tutur Gian.
“Kamu kenapa?”
“Tadi aku denger papa sama mama
aku berantem lagi, Yan. Aku capek denger mereka ribut terus. Kenapa, sih,
enggak ada hal yang biarin aku tenang dan bahagia sebentar?! Kayaknya ada aja
yang bikin aku muak!” racau Aluna yang
tampak dari nada suaranya begitu kesal dengan keadaan yang menimpanya.
Gian kemudian seperti hari-hari
sebelumnya, selalu mendengarkan apa yang Aluna sedang rasakan, memberikan masukan
dan menemaninya hingga ia merasa lebih tenang.
Dan lagi, di sore dan tempat yang
sama seperti biasanya, Gian menemani Aluna.
***
Dua bulan berlalu sejak kejadian
di lapangan basket dimana Aluna berkeluh
kesah tentang masalah keluarganya yang kini sudah terselesaikan dengan cara
damai. Kedua orang tua Aluna tidak jadi bercerai. Selama itu pula Gian selalu
ada dan menemani Aluna.
Sore ini, Gian sedang bersandar
di tiang basket sambil menunggu Aluna datang. Gian tampak sedang memutar-mutar
handphone-nya. Sesekali ia mendongak ke atas langit dan memperhatikan awan yang
berarak pelan. Tak lama kemudian langkah riang kaki Aluna mendekati Gian.
“Kamu tumben cepet kesininya?
Kamu udah makan?” sapa Aluna setelah duduk di samping Gian seperti biasanya.
“Udah, kamu?” jawab Gian sambil
melihat Aluna hendak mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya..
Aluna menggeleng
pelan. “Belum. Si mama masak ikan. Padahal mama tau aku enggak suka ikan,”
gerutu Aluna. “Jadi aku beli sandwich
aja tadi waktu mau kesini. Nih, buat kamu satu.” Aluna menyodorkan sandwich isi daging sapi dilapisi keju
itu kepada Gian.
Pandangan Gian tidak beranjak
dari wajah Aluna saat menerima sandwich dari
tangan kekasihnya itu. Aluna yang menyadari pandangan Gian kemudian tersenyum tidak
mengerti.
“Kamu kenapa, sih?” Tanya Aluna
sedikit malu-malu.
Gian membenarkan duduknya dan
menatap Aluna dengan serius. “Al, aku sayang banget sama kamu. Kamu tau itu,
kan?”
Aluna menggigit
sandwich-nya sambil menatap Gian. “Hm? Iya, tau. Aku, kan, juga sayang banget
sama kamu.”
“Kamu bahagia sama aku?” lanjut
Gian.
Pandangan Aluna semakin tidak
mengerti ke arah Gian. “Iya, aku bahagia. Kamu kenapa, sih, kok, aneh gini?”
“Tapi aku enggak pernah lihat kamu bahagia kalau sama aku..” kalimat Gian terdengar mengambang di
udara.
Aluna menghentikan kunyahan di
mulutnya. “Maksudnya kamu apa, ya?”
“Dua tahun aku sama kamu, Al. Aku
selalu temenin kamu, dengerin cerita kamu, keluhan kamu. Saat itu juga aku ada
untuk tenangin kamu..” jawab Gian. Ia mengambil nafas perlahan kemudian
melanjutkan.
“Hampir tiap waktu kita ketemu
pasti ada aja cerita yang bikin kamu kesel, ngeluh. Tentang kuliah kamu,
temen-temen kamu, juga keluarga kamu.. dan aku selalu dengerin kamu, tenangin
kamu. Aku selalu ngertiin kamu, Al.” lanjut Gian.
“Kamu enggak tulus ngelakuin itu
semua? Iya, Gian?” Nada suara Aluna tampak tidak percaya dengan apa yang
dikatakan Gian barusan.
“Al..” suara lirih Gian memanggil
Aluna bersamaan dengan awan yang berarak menemani mereka berdua di sore ini.
“Aku pacar kamu. Kenapa hampir
tiap ketemuan kamu selalu ngeluh dan ada aja yang bikin kamu marah? Kamu enggak
pernah nanya apa aja yang terjadi sama aku? Aku sedih, aku seneng.. kamu enggak
pernah tau kapan aku ngalamin itu semua,
kan?”
“Kok, kamu ngomong gitu, sih, Yan!?”
suara Aluna terdengar meninggi.
“Aku pikir aku udah sabar, Al,
ngadepin kamu dan semua tentang diri kamu. Lalu aku kapan kamu dengerinnya?
Ketika aku seneng dapet juara design
juga aku musti ngalah untuk dengerin apa yang kamu rasain..”
“Tapi, kan, kamu tau waktu itu
orang tua aku lagi ada masalah, Yan..” potong Aluna.
“Aku ngerti, Al. Tapi
kenapa, sih, kamu juga enggak pernah bersyukur sama apa yang ada disekitar
kamu? Kamu cuman lihat keburukan yang ada di sekeliling kamu. Hal yang bikin
kamu bahagia enggak pernah kamu lihat. Aku, Al..” ujar Gian tenang.
“Terus kamu maunya apa sekarang,
Yan? Kamu bilang kamu sabar ngadepin aku.” Tanya Aluna pelan.
“Aku sabar, Al. Kamu enggak lihat
gimana sabarnya aku ke kamu selama ini? Aku rela nyimpen sendiri perasaan sedih
atau senengnya aku. Karena aku udah sibuk dengerin kamu, Al. Kamu pernah tau
itu? Enggak, Al. Kamu egois!”
“Dan sekarang kenapa kamu enggak
bisa sabar lagi, Yan?”
“Bukan enggak bisa, Al. Tapi udah
cukup buat aku. Aku enggak mau kamu terus-terusan biarin diri kamu jadi orang yang
enggak pernah tumbuh dewasa dan menghargai hal yang udah kamu punya. Kamu
selalu ngeluh dan ngeluh..”
Aluna tak bergeming
mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Gian. Kemudian Gian melanjutkan
kalimatnya kembali sambil terus menatap Aluna.
“Aku tulus, Al, sama kamu. Semua
hal yang aku lakuin ke kamu aku lakuin dengan tulus. Tapi aku enggak mau biarin
orang yang aku sayang gak pernah coba untuk jadi orang yang lebih bisa
menghargai orang lain..” Gian mengambil nafas perlahan.
“Lebih baik aku pergi dari hidup
kamu, Al.”
“Yan.. aku tau aku
emang egois. Aku sadar aku salah banget ke kamu. Kamu udah baik banget sama aku
selama dua tahun ini.. aku enggak mau jauh dari kamu, apa kamu bakal tetep
tinggal kalau aku bilang aku bakal berubah, Yan?” Tanya Aluna. Tampak air mata
menggenang di pelupuk matanya.
Gian tak langsung menjawab
pertanyaan dari Aluna. Beberapa detik hanya suara angin semilir yang terdengar
di antara mereka berdua.
“Aku enggak bisa, Al..” pungkas
Gian.
Seuntai air mata tampak jatuh
dari mata Aluna. Ia tidak tau lagi kalimat apa yang hendak ia utarakan untuk
membuat Gian tetap bersamanya. Beberapa saat suasana kembali hening.
Aluna tampak menghela nafas
panjang kemudian mengusap air matanya.
“Maafin aku, ya, Yan?
Kamu enggak apa-apa pergi dari kehidupan aku sekarang. Tapi aku bakalan buktiin
aku bisa berubah supaya kamu bisa kembali sama aku..” tutur Aluna. “Dan kamu
juga musti tau, aku emang egois, Yan, tapi aku bener-bener bahagia banget
pernah punya kamu.. Makasih ya, Yan.”
Gian menatap Aluna kembali.
Wajahnya yang selalu terlihat tenang tampak sedikit muram setelah mendengar
Aluna berbicara. Kemudian ia meraih tas
di sampingnya.
“Kamu baik-baik, ya, Al..” tukas
Gian sambil beranjak berdiri untuk pergi dari lapangan meninggalkan Aluna.
Aluna memperhatikan Gian yang
berjalan membelakanginya.
“Haloo, Gian!” teriak Aluna dari
belakang.
Gian menghentikan langkahnya. Itu
adalah kalimat pertama yang di ucapakan oleh Aluna ketika mereka baru pertama
berkenalan.
Gian tersenyum.
“Haloo, Aluna!”
Gian kemudian melanjutkan
langkahnya pergi meinggalkan Aluna yang juga berdiri hendak beranjak dari lapangan itu.
Dan sekali lagi, di sore yang
sama namun arah langkah yang berbeda, Gian semakin menjauh meninggalkan Aluna
yang berjalan gontai meninggalkan lapangan basket itu. Tempat dimana Gian
selalu membuatnya nyaman, tenang. Tapi kini Aluna harus merelakan kebahagiaan
yang tidak pernah dia lihat dan hargai yang berada tepat di depan matanya,
yaitu Gian.
Kini Aluna sadar, kadang untuk
membuat orang agar lebih bisa bersyukur dan menghargai orang lain adalah dengan
cara kehilangan orang yang ternyata sangat begitu berharga setelah dia hilang.
***End***